Beberapa tahun yang lalu sewaktu masih aktif di kegiatan kemahasiswaan, saya sering memplesetkan kata optimis dan pesimis menjadi opsimis. Maksud saya adalah untuk selalu optimis dalam kepesimisan.Tentu saja itu hanya kata-kata sambil main-main untuk menghibur teman-teman yang stres saat menghadapi deadline suatu kegiatan Kini, setelah membaca beberapa buku yang bagus, kata ‘opsimis’ ini ternyata mempunyai filosofi yang mendalam.
Buku pertama berjudul “Manusia Mencari Makna” (Man’s search for meaning) karya Victor E. Frankl. Tokoh psikologi pendiri aliran Logoterapi (terapi makna) yang mengalami penahanan di kamp Nazi selama PD II, dari September 1942 hingga April 1945. Dia menemukan bahwa rekan-rekannya yang terlalu optimis merasa akan bebas dalam jangka dekat ternyata justru meninggal dalam frustasi. Seorang rekannya dia ceritakan punya firasat bahwa perang akan berakhir dan mereka akan bebas pada awal musim semi. Ternyata hingga musim semi kondisi tawanan makin memburuk dan tidak ada tanda-tanda mereka bebas. Orang tersebut tiba-tiba meninggal dalam kerisauan karena tak mampu menanggung kenyataan bahwa mereka masih menderita.
Frankl sendiri mampu bertahan dengan satu keinginan membara dalam dirinya untuk kembali bertemu dengan keluarga dan kembali mengajar psikologi kepada mahasiswanya. Optimisme ini diimbangi kemampuan menerima kenyataan sehari-hari bahwa dia disiksa, ditelanjangi, dirampas kepemilikannya, dan diberi nama baru dengan hanya sebuah nomor angka. Pengalaman di kamp konsentrasi ini membawa Frankl kepada kesimpulan penting : manusia tetap merdeka untuk memilih respon terhadap kenyataan yang dia terima. Dia menyebut hal itu sebagai ‘kemerdekaan terakhir yang tidak dapat dirampas dari diri seseorang’. Konsep Frankl ini dirumuskan kembali oleh Sephen Covey, penulis 7 habits, dengan istilah ProActive yang kemudian menjadi populer dalam manajemen.
Buku kedua adalah “Good to Great” karya Jim Collins dalam salah satu bagiannya yang diberi sub-judul The Stockdale Paradox. Ini adalah cerita tentang Admiral Jim Stockdale seorang perwira penerbang AL Amerika yang ditawan di perang Vietnam selama 8 tahun dari tahun 1965 hingga 1973. Dia disiksa lebih dari 20 kali dan menjadi eksperimen untuk perang psikologis. Pengalaman Stockdale ditulis menjadi buku ‘In Love and War’. Waktu Jim Collins mewawancarai veteran perang ini dia menemukan pernyataan yang mengejutkan, bahwa menurut Stockdale tawanan yang paling cepat mati adalah mereka yang optimis!
“Si optimis? Saya tidak paham,” kata Jim. “Si optimis. Itu mereka yang mengatakan, “Kita akan bebas nanti saat Natal.” lalu Natal datang, dan pergi. Kemudian mereka berkata, “Kita akan bebas saat Easter (Paskah),” lalu Easter datang, dan pergi. Dan kemudian Thanksgiving, dan kemudian Natal lagi. Dan akhirnya mereka mati dengan patah hati.” demikian jawaban Stockdale. “Ini adalah pelajaran penting. Kamu tidak boleh bingung antara keyakinan bahwa kamu suatu saat akan menang di akhirnya - dengan disiplin untuk menerima fakta paling brutal dari relalitas yang sedang terjadi, apapun bentuknya.” Artinya : “Kita tidak akan bebas Natal kali ini. Terima saja kenyataan.”
Optimisme ternyata juga berbahaya, dia dapat membuat orang mati frustasi!
Merenungi kisah Frankl dan Stockdale ini saya jadi teringat berbagai pengalaman bisnis yang gagal. Saya orang optimis, namun kenyataannya optimisme tidak mampu secara ajaib mengubah kegagalan menjadi keberhasilan.
Sekarang saya mempunyai pemahaman baru : Opsimisme!
Kata main-main itu kini punya makna lebih mendalam. Opsimisme : kita optimis dalam jangka panjang bahwa situasi akan membaik, sekaligus kita pesimis dalam jangka pendek bahwa kondisi saat ini sesuai dengan yang kita inginkan.
Selalu yakin dalam hati bahwa sesuatu akan membaik, sekaligus mampu menerima kenyataan bahwa kondisi realitas saat ini sedang buruk. Ini memberi konsekuensi untuk terus berjuang mengubah keadaan, dan menghindarkan diri dari angan-angan kosong. Orang-orang yang mati frustasi dalam kedua cerita di atas adalah orang yang menggunakan optimisme untuk berangan-angan kosong! Ini sering terjadi pada orang yang rajin berdoa lalu berharap pertolongan dari langit akan turun sesuai yang dia inginkan. Seperti tidak punya duit, lalu berdoa serius, duduk-duduk, berharap sore hari akan turun duit dari langit. Angan-angan kosong. Terima kondisi apa adanya, tidak punya duit, pesimis duit akan datang sore ini, lalu bergeraklah untuk mengubah keadaan. Menerima kenyataan secara pesimis akan menggerakkan naluri purba kita untuk berjuang agar survive! Sebaliknya berangan-angan kosong yang serba optimis terhadap realita akan membuat kenyamanan semu yang menumpulkan kemampuan survive.
Optimis untuk keadaan jangka panjang, pesimis untuk realita saat ini.
Sekarang saya bisa lebih paham dengan apa yang dimaksud Al Ghozali, seorang pemikir muslim, dalam bukunya Rahasia Shalat. Dia menulis pentingnya beribadah secara khouf (takut) sekaligus roja (harap). Artinya ketika seseorang sedang shalat maka dia harus takut shalatnya ditolak, sekaligus berharap shalatnya diterima. Ini ibarat kita yakin bahwa kita berpeluang besar kelak akan masuk surga (optimis), sekaligus menerima kenyataan bahwa kondisi saat ini sangat belum layak untuk diterima masuk surga (pesimis). Jadi, perbaiki shalatmu terus-menerus, demikian saya kira maksud Al Ghazali. Menganggap dirimu saat ini sudah layak masuk surga adalah suatu angan-angan kosong!
Sikap dari nabi Muhammad saw adalah contoh terbaik dari opsimisme. Beliau yakin suatu ketika akan menang (optimis), namun di saat bersamaan selalu sadar kondisi buruk yang dihadapi (pesimis). Itulah mengapa saat akan hijrah beliau menyusun strategi agar bisa lolos dari kepungan para pemuda yang akan berniat membunuhnya (saat itu Ali disuruh tidur pura-pura menggantikannya). Muhammad tidak berangan-angan kosong bahwa akan ada malaikat yang membawanya menghilang dengan ajaib. Itu pula kenapa beliau selalu berusaha sungguh-sungguh dalam tiap pertempuran, yakin akan pertolongan Allah, sekaligus realistis dengan kondisi yang ada. Beliau menang saat Badar dengan menutup sumur musuh, kalah saat Uhud karena bobolnya pertahanan belakang, menang saat Khondaq dengan pertahanan jurang parit. Karena optimis beliau selalu yakin dengan perjuangannya. Karena pesimis beliau selalu berusaha menyusun strategi dan berjuang keras untuk kondisi yang dihadapi. Betul-betul sikap yang memadukan optimisme dan pesimisme layaknya Yin dan Yang. Sikap Opsimisme.
Blog ini juga harus saya pandang secara ‘opsimis’, artinya :
1. optimis : saya optimis suatu saat situs ini akan memberikan banyak manfaat kepada banyak orang (hal ini membuat saya tetap mau mengisinya)
dan sekaligus
2. pesimis : saya pesimis dalam waktu dekat ini sudah banyak yang memanfaatkannya (karena itu situs ini harus terus disempurnakan dan disosialisasikan)
Bagi anda yang tabu dengan kata Pesimis seperti yang diajarkan oleh para trainer pengembangan SDM, anda bisa menggantinya. Kita bisa menggunakan semboyan lain. Anda ganti saja Pesimis menjadi Realistis. Kita mesti realistis dengan kenyataan bahwa kemampuan kita serba terbatas. Jadi, Optimis dan Realistis = Opsimis.
Jadi mari kita serukan : tetap optimis! Eh, salah. Tetap Opsimis!™
Friday, June 1, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment