Thursday, June 7, 2007

Solusi Kreatif Terkadang Sangat Sederhana

“One Day can change your life. Yes, even one moment can change your life. You just never know when that day or moment will come.” Mike Fry

Ini kisah perjuangan mewujudkan mimpi yang berlangsung 14 tahun. Mike Fry masih ingat ketika dia menuliskan banyak sekali mimpinya, maka Goal #118 selalu membuatnya bersemangat. Ia ingin mewujudkan mimpi no 118 itu : mempunyai paten atas suatu temuan.
Perjuangan Mike Fry selama 14 tahun merupakan perjalanan yang penuh derita dengan kebangkrutan dan skeptisme.


Namun dia berhasil melewati itu semua dengan kegigihan mempertahankan mimpinya. Keberhasilan dia mulai nampak setelah mengikuti anjuran untuk mendatangi suatu pameran. Suatu kejadian kebetulan (yang mungkin bukan kebetulan) mempertemukan dia dengan orang yang tepat, seorang ahli mainan yang memberi kunci bertemu dengan desainer mainan. Ide bertahun-tahun yang gagal mendadak berhasil dengan solusi sangat sederhana : mengubah bentuk bantal menjadi beruang Teddy.

Kisah nyata penemu boneka Always Together Bear ini menarik untuk dikaji dalam dua hal : 1. aspirasi yang kuat membantu kita menemukan kesempatan yang tepat (perhatikan kisah dia mengahrapkan teman duduk di bis) 2. solusi kreatif terkadang sangat sederhana, yaitu “plussing” - menambah sedikit dari yang sudah ada (perhatikan bagaimana bantal ‘dimasukkan’ ke boneka beruang)

How Inspiring!

Hidup Mengalir Dengan Multi Skenario

”Aku sih hidup mengalir saja… ,” demikian celetuk seorang teman.
“Ya.. kalau mengalir tanpa terkendali itu namanya HANYUT…,” tukas saya menimpali teman tersebut

Kebanyakan orang hidup mengalir mengikuti irama jaman. Kebanyakan orang pula bertanya-tanya kenapa hidupnya tak juga maju?

Suatu ketika, dalam sebuah pelatihan tentang analisis kompetitor di PT Telkom, trainer membahas tentang pentingnya Scenario Planning bagi sebuah perusahaan. Diskusi tersebut sangat seru dan intens, mengingat selama ini seringkali hanya ada satu perencanaan tunggal yang menjadi target perusahaan di awal tahun.

“Scenario Planning bukan ditujukan untuk meramalkan masa depan. Tujuan sesungguhnya adalah untuk mengantisipasi berbagai keadaan yang mungkin terjadi…,” demikian kami jelaskan kepada peserta, mengutip pendapat Michael Porter dalam bukunya Competitive Advantage, mengenai kegunaan scenario planning.

Mengantisipasi, itu adalah sikap yang lebih tepat daripada sekedar ‘meramalkan’ masa depan. Bila meramalkan, maka kita membuat perkiraan hal apa yang paling mungkin terjadi. Sedangkan mengantisipasi berarti membuat berbagai gambaran kemungkinan yang bisa terjadi, kemudian mengambil strategi untuk bersiap terhadap semua yang mungkin terjadi tersebut. Dan itulah tujuan utama scenario planning.

Scenario Planning sendiri mulai populer di tahu 70-an ketika terjadi krisis harga minyak dunia yang tiba-tiba melambung tinggi. Saat itu bukan tidak ada minyak, tapi harga minyak melambung karena krisis politik di Timur Tengah. Shell, adalah perusahaan minyak yang telah menerapkan scenario planning. Di awal tahun 70-an, Shell membuat berbagai skenario yang mungkin terjadi, salah satunya adalah melambungnya harga minyak dunia, suatu kondisi yang jauh dari ramalan kebanyakan para ahli ekonomi saat itu. Dan ternyata kejadiannya adalah sesuatu yang berbeda dari kebanyakan ramalan, harga minyak melambung menyebabkan kelesuan ekonomi dunia. Shell, yang sudah menyiapkan diri dengan berbagai skenario tersebut mampu memanfaatkan keadaan, sehingga melejit menjadi 3 besar dunia. Perusahaan lain yang beruntung dalam kondisi krisis minyak saat itu adalah perusahaan-perusahaan mobil Jepang yang sukses memasarkan mobil ukuran kecil bagi pasar Amerika (salah satunya adalah Honda Civic berukuran kecil, yang tadinya dipandang skeptis akan dibeli orang Amerika).

Hidup mengalir? Itulah yang terjadi pada sebagian besar orang (dan sering berakhir menyedihkan). Sebenarnya mereka bukan tanpa rencana, namun rencana mereka tak sesuai dengan kenyataan. Jadilah mereka terhanyut oleh kehidupan. Misalnya seorang mahasiswa, biasanya dia sudah membayangkan (punya cita-cita/mimpi) bahwa nanti setelah lulus dia akan bekerja di suatu tempat dengan gaji besar, menikah dengan idamannya dan punya anak, dan begini, dan begitu seterusnya. Apa yang terjadi? Kebanyakan mimpinya tak juga terwujud. Setiap hari masih naik angkutan yang sama, pergi dan pulang pada jadwal yang sama, dan merasakan hidupnya yang sama, tak juga maju-maju. Lebih celaka lagi sering kondisi berubah mendadak menyebabkan semua rencana kacau balau dan akhirnya hanya bisa pasrah menjalani hidup. Itulah contoh kebanyakan hidup yang mengalir.

“Ya kalau mengalirnya ke laut, kalau mengalirnya ke comberan… ?” gurau saya kepada teman. Maksudnya adalah, ya kalau dalam hidup ini –yang kita mengalir di dalamnya- ternyata betul membawa kita ke kondisi yang sesuai harapan dan mimpi kita (kerja keras, naik jabatan dan naik gaji, anak-anak tumbuh cerdas, keluarga bahagia, bisa haji dan keliling eropa, dll) tentu kita senang. Bagaimana kalau sebaliknya? Sikut-sikutan di kantor, krisis ekonomi lagi, sekolah makin mahal, PHK, dll. Tentu hidup yang mengalir itu akan berakhir di comberan. Ini namanya tragedi.


Yang betul adalah hidup mengalir dengan terkendali. Ibaratnya kita sedang main arung jeram menyusuri sungai, maka kalau kita menggunakan perahu karet yang baik, dengan dayung untuk kendali, bahkan dengan helm dan jaket pelampung, tentunya jauh lebih terkendali dibandingkan kita terjun ke sungai tanpa perahu karet, tanpa dayung, tanpa jaket pelampung. Menyiapkan diri dengan rakit, dayung, dan jaket pelampung itulah sikap seorang yang hidup dengan kendali. Kita tidak mampu mengendalikan arus sungai, namun kita selalu mampu mampu untuk mengambil sikap mengendalikan perahu kita.


Nah, kembali ke pelatihan analisa kompetitor di Telkom tadi, kesimpulan kami adalah sangat penting bagi perusahaan untuk menyiapkan multi skenario, bukan sekedar skenario tunggal. Dengan adanya multi skenario itu dapat dirancang strategi yang adaptif dan mampu mengatasi apapun skenario yang akhirnya terjadi. Berpegang hanya pada skenario tunggal menjadi sangat riskan mengingat perubahan politik, ekonomi, maupun teknologi di masa global ini bisa terjadi dengan sangat cepat.

Tiba-tiba terpikir dalam benak saya, bagaimana dengan skenario untuk diri kita sendiri? Apakah kita sudah punya multi skenario untuk masa depan? Bagaimana kalau karir kita tak berjalan mulus seperti yang kita bayangkan? Bagaimana kalau kondisi berkembang ke arah yang berlawanan dengan apa yang kita harapkan? Apakah kita sudah siap?
Bagaimana dengan tahun 2007 ini dan 2008 mendatang ? Apakah ramalan mereka yang optimis itu benar terjadi (bahwa ekonomi Indonesia akan membaik, karena kondisi makro 2006 katanya sih baik)? Atau justru ramalan mereka yang pesimis lah yang terjadi (banyak bencana ditandai jatuhnya pesawat terbang, krisis ekonomi global, ekonomi riil yang stagnan, banyak PHK)? Ah, mudah saja. Kita ambil saja semua ramalan itu menjadi multi skenario. Ada skenario positif optimis, dan ada yang negatif pesimis. Kemudian ambil beberapa strategi yang bisa mengantisipasi semua kemungkinan itu.

Jadi apa multi skenario Anda? Apa yang Anda rencanakan andai ekonomi membaik dan bisnis Anda juga ikut melejit? Bagaimana pula kalau ekonomi membaik, sayangnya bisnis Anda tidak termasuk yang beruntung menikmatinya, apa strategi Anda? Bagaimana pula kalau kondisi memburuk, peluang apa yang akan muncul dan bisa Anda manfaatkan? Bagaimana kalau kondisi memburuk dan bisnis Anda pun memburuk, apa persiapan (jaga-jaga/tabungan) yang sudah Anda lakukan? Bagaimana pula skenario hidup masa depan Anda, apakah sudah punya beberapa pandangan (atau hanya skenario tunggal yang –maunya- bagus-bagus dan sukses saja)? Bagaimana kalau karir melejit, dan bagaimana pula kalau karir ternyata anjlok? Bagaimana kalau kesehatan selalu bagus, bagaimana pula bila terjadi musibah? (Bahkan bagaimana kalau semua mimpi indah itu kandas karena ternyata kita mati muda, misalnya, sudahkah kita siap?)

Skenario planning tampaknya layak kita terapkan buat kita sendiri, bukan hanya untuk perusahaan kita. Tentunya biar kita menjadi lebih bijak dan penuh kendali saat ikut mengalir dalam kehidupan ini.

= = =
What is scenario planning?
‘‘An internally consistent view of what the future might turn out to be—not a forecast, but one possible future outcome.’’ Porter, M. Competitive Advantage
Scenarios provide alternative views of the future. They identify some significant events, main actors and their motivations, and they convey how the world functions. Building and using scenarios can help us explore what the future might look like and the likely changes of living in it. www.Shell.com


Situs menarik : www.ScenarioThinking.org

Menulis Sebagai Terapi Emosi

Berkisahlah kemudian Pennebaker tentang veteran perang Vietnam bernama John Mulligan. “Saya dulu seperti kerang kosong yang berjalan-jalan di jalanan. Menulis telah membuatku merasa punya jiwa,” ujar Pak Pennebaker mengutip pernyataan John Mulligan ketika menyampaikan pengalaman pada WebMD.

Menurut tuturan Pennebaker, John Mulligan menjadi punya jiwa setelah dia mengikuti workshop menulis untuk para veteran perang Vietnam yang dipandu pengarang terkenal Amerika Serikat, Maxine Hong Kingston. Maxine menganjurkan kepada para veteran perang tersebut untuk mengungkapkan semua pengalaman traumatis dalam bentuk tulisan. Apa yang diperoleh John Mulligan kemudian? Mulligan, yang berusia 49 tahun ketika menyampaikan pengalamannya kepada WebMD, dapat melahirkan novel berjudul Shopping Cart Soldiers! Dan tak cuma itu, setelah mengikuti workshop menulis setahun kemudian dapat berdamai dengan dirinya. Dia dapat memindahkan pengalaman buruknya di medan perang ke dalam kata-kata. Pikirannya pun menjadi jernih dan - sebagaimana disampaikannya sendiri- “jiwanya menjadi eksis”.

“Lusinan penelitian telah membuktikan bahwa kebanyakan orang yang pernah memiliki trauma buruk di masa lalunya akan menjadi lebih baik dan lebih sehat setelah menulis,” demikian ujar Pennebaker.


Journal of the American Medical Association, edisi 14 April 1999, melaporkan bahwa menulis secara ekspresif dapat menurunkan simptom asma dan rheumatoid arthritis. Joshue Smith, Ph.D., asisten profesor psikologi dari North Dakota State University dan koleganya, melakukan penelitian dengan meminta sebanyak 70 penderita asma dan rheumatoid arthritis untuk menulis tentang peristiwa paling menekan dalam kehidupannya.

Partisipan dari penelitian tersebut dianjurkan untuk menulis tentang luka masa lalunya selama 20 menit dalam 3 hari. Kelompok lain yang terdiri dari 37 pasien diminta untuk menulis tentang rencana mereka pada hari itu. Empat bulan kemudian, 47 persen dari kelompok yang menulis tentang trauma masa lalunya menunjukkan perbaikan signifikan. Mereka rata-rata merasakan berkurangnya rasa sakit berkaitan dengan rheumatoid arthritis yang mereka derita. Kapasitas paru-paru pun dikabarkan meningkat bagi para penderita asma. Sementara itu hanya 24 persen yang menunjukkan kemajuan seperti itu bagi mereka yang hanya menulis kehidupan sehari-harinya.


Para peneliti tak tahu mengapa menulis tentang peristiwa yang menyakitkan dapat memperbaiki kesehatan. Bisa jadi, menyalurkan emosi secara bebas dan juga mengalirkan luka masa lalu secara ekspresif dalam bentuk tertulis telah membantu seseorang untuk membangun jalan untuk berdamai dengan masa lalunya. “Pada pokoknya,” pesan Pennebaker, “bagi yang mengalami keguncangan jiwa atau mengalami depresi, bergegaslah menulis. Menulislah secara sangat bebas tanpa memperdulikan struktur kalimat dan tata bahasa. Niscaya Anda akan terbebaskan dari segala deraan batin.”

Percaya atau tidak, saya sendiri telah merasakan manfaat menulis bagi perkembangan emosiku. Pada umumnya orang yang gemar menulis bisa menuangkan unek-unek kedalam tulisan. Bagi anda yang terbiasa menulis buku harian, coba bacalah. Saya beberapa hari kemarin ketawa-ketiwi sendiri membaca buku harian ketika masih SMP. Kata orang, kalau ada masalah tidak baik disimpan sendiri dan harus dikeluarkan. Menulis bisa jadi salah satu media distribusi yang baik untuk mengeluarkan masalah dari benak.


* Dikutip dari buku Bu Slim & Pak Bil : Menggagas Kembali Pendidikan Berbasis Buku, karya Hernowo, Penerbit MLC 2004.

Kecerdasan + Kesuksesan = Kebahagiaan?


Suatu kebahagiaan dan kesuksesan dapat diprediksi!.

Bahagia dan sukses adalah buah dari perilaku. Karena itu bila kita mempunyai perilaku orang yang bahagia dan sukses, pasti suatu saat menjadi bahagia dan sukses pula.. Perilaku adalah buah dari kebiasan. Kebiasaan dimulai dari sikap. Sikap dipengaruhi oleh paradigma. Paradigma dipengaruhi oleh pengetahuan. Jadi, awalnya adalah pengetahuan. Setiap hari, pengetahuan beredar secara berlimpah ruah di sekeliling kita. Kemampuan menangkap pengetahuan, mengolahnya, menghayatinya, dan menjadikannya sebagai aksi untuk meraih tujuan, sangat dipengaruhi oleh kecerdasan.

Dr. Stanley dalam karyanya The Millionaire Next Door yang berisi penelitiannya terhadap para milyuner di Amerika menunjukkan bahwa para orang sukses memiliki kecerdasan yang cukup baik. Para milyuner yang diteliti berasal dari berbagai kalangan seperti kontraktor las, penjual barang bekas, petani, pembasmi hama, hingga penjual koin. Yang jelas, mereka mempunyai satu kesamaan yaitu sangat merdeka secara finansial. Kebanyakan mereka hidup relatif sederhana dibandingkan dengan jumlah kekayaannya. Mobil mereka seperti rata-rata milik orang kebanyakan, rumah mereka berada di perumahan orang kebanyakan. Mereka juga bergaul dengan orang kebanyakan. Sebagian besar dari mereka tidak suka tampil di depan publik. Mereka rata-rata bersekolah dengan baik. Kalaupun putus sekolah, itu dikarenakan kondisi ekonomi keluarga, bukan karena mereka tidak cerdas. Jadi para milyuner ini memiliki kecerdasan intelektual, IQ, yang baik.

Para milyuner juga adalah orang-orang yang tangguh, ulet, sabar, mampu mengendalikan diri, bermasyarakat dengan baik, memiliki keluarga harmonis, dan berbagai hal lain yang menjadi bukti bahwa mereka memiliki kecerdasan emosional, EQ, yang baik. Semua dari mereka juga setuju bahwa kehidupan spiritual, pelayanan, dan sedekah adalah hal yang sangat penting. Kebanyakan dari mereka menyumbangkan penghasilan 10 persen atau lebih dari pendapatan kotor.

Mereka meyakini Tuhan sebagai sumber pemberi rizki, sebagai pendamping yang tidak kelihatan, atau sering disebut sebagai "silent partner". Ini menunjukkan bahwa mereka memiliki kecerdasan spiritual, SQ yang sangat baik.

Wednesday, June 6, 2007

Ramalan, Fengshui, Takdir dan Efek Forer


MamMama Lauren sedang naik daun. Kata orang, ramalannya jitu. Pada awal tahun 2007 ketika terjadi musibah hilangnya Adam Air dan tenggelamnya kapal Senopati, Mama lauren muncul di sebuah acara TV dan ditanya mengenai ramalannya untuk tahun 2007. Tentu saja saya yang kebetulan nonton acara itu (lupa acaranya) ikut curious dengan ramalan dia.aKatanya, kalau tidak salah, akan ada lagi musibah kecelakaan pesawat. Kalau tidak salah lagi, inisialnya ”A”. Selain itu ada ramalan artis yang akan bercerai (yang ini sih, standar). Beberapa waktu kemudian terjadi musibah pendaratan tak mulus pesawat Adam Air di Surabaya. Pesawatnya rusak, namun semua penumpang selamat. Kemudian terjadi lagi musibah kecelakaan pesawat Garuda di Yogyakarta. Musibah ini cukup fatal dan terdapat korban jiwa.

Nah, kalau ramalan mama Lauren jitu, mengapa inisial yang disebutkan ”A”, bukan ”G”? Apakah ramalan tersebut sekedar kebetulan? Atau suatu kemestian umum (seperti halnya ramalan bahwa harga BBM akan naik)?
Ramalan dan seni meramal sudah populer sejak jaman purba. Manusia selalu punya rasa ingin tahu tentang nasibnya di masa depan. Apakah kita boleh percaya dengan ramalan?
Fengshui

”Bapak percaya fengshui?” begitu kira-kira pertanyaan saya suatu ketika kepada Pak Dimitri.
”Alam ini adalah simbol Pak…,” jawab Pak Dim tidak langsung, yang seterusnya menyampaikan dasar pemikiran tentang keteraturan alam, dan betapa mungkinnya bahwa semua simbol-simbol di alam semesta itu bisa ditafsirkan. Singkatnya, kita memang harus percaya bahwa peramalan itu memungkinkan.
Sebagai muslim, saya percaya akan adanya ramalan. Sebentar, bukankah ada hadits yang melarang kita mempercayai peramal?
“Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal lalu bertanya kepadanya tentang sesuatu, maka tidak diterima sholatnya selama 40 hari”. (HR Muslim dari sebagian Istri-istri Rasulullah Saw)
sumber : http://paranormalsakti.freehomepage.com/about.html

Saya percaya akan adanya ramalan BUKAN berarti saya percaya sembarang peramal. Bukti-bukti tentang ilmu mengetahui masa depan dicontohkan pada kisah para nabi, diantaranya adalah Nabi Yusuf ketika menerjemahkan mimpi dua orang yang dipenjara. Seorang ditafsirkan mimpinya bahwa dia akan bebas, dan seorang lagi akan dihukum mati. Ramalannya benar. Setelah itu beliau menafsirkan mimpi raja bahwa akan terjadi masa makmur selama 7 tahun dan masa paceklik selama 7 tahun. ’Ramalan’nya benar. Dalam hadits, juga terdapat beberapa ’ramalan’ Nabi Muhammad tentang masa depan. Yang menyampaikan adalah Nabi. Akankah Anda tak percaya? Ini adalah bukti nyata bahwa ramalan itu ada.

Kalau Nabi kita percaya, bagaimana kalau Mama Lauren? Apalagi ramalan bintang di koran lokal yang tampaknya diambil dari sembarang kumpulan database ramalan zodiak, apakah Anda juga percaya? Bagaimana dengan Fengshui, percaya juga?
Saya sendiri memilih, kadang percaya, kadang tidak. Sikap tersebut didasarkan bahwa keteraturan di alam ini memang sebenarnya bisa diramalkan, namun tetap saja sulit dilakukan.
Fengshui sebenarnya adalah kumpulan pengamatan manusia atas fenomena alam. Fenomenanya sendiri teratur, pengamatnya sangat mungkin bias. Bila orang Cina pakai istilah Naga Hijau dan Macan Putih, itu adalah cara mereka membuat penjelasan atas fenomena alam itu sendiri. Simbolisasi ini (yang bisa juga disebut ’rumus’) jelas sangat mungkin salah. Kalau mereka membuat ’rumus’ itu berdasarkan pengamatan di belahan bumi utara (negeri Cina), apakah masih berlaku untuk belahan bumi selatan (misalnya di Jawa)? Kalau dulu belum ada listrik, telepon seluler, perubahan iklim global, bergesernya kutub magnet bumi, dll, apakah ’rumus’ kuno itu masih akan manjur seperti saat pengamatan dulu dilakukan? Logikanya sih, tidak.

Namun tentu ada pengamatan yang masih berlaku. Misalnya Anda bekerja membelakangi pintu masuk (secara Fengshui ini posisi buruk), tentu masih akan berlaku hingga saat ini. Secara psikologis tetap saja seseorang merasa tidak nyaman bila setiap saat bisa terjadi seseorang mengintainya dari sebelah belakang. Yang ini saya percaya.
Bagaimana dengan instrumen pendukung Fengshui seperti perhitungan bintang, shio, dll. Yang ini menurut saya sangat mungkin ’rumus’nya sudah tidak jitu lagi. Posisi bintang terus berubah (galaksi ini terus berputar kawan, bukan di atas seekor kura-kura seperti anggapan orang kuno dulu). Secara pemodelan sederhana sudah jelas rumusnya tak akurat lagi. Saat ini pun sudah resmi dirumuskan zodiak ke-13 (OPHIUCHUS 30 Nov - 17 Des), rumus peramal bintang sudah pasti jadi meleset.


Jadi saya mempercayai ramalan sekedar sebagai ’rumus’ perkiraan dengan keakuratan rendah. Ibaratnya ramalan cuaca. Kita harus percaya bahwa peramalan itu mungkin. Sekaligus juga percaya bahwa secara statistik ramalan itu cuma sebuah peluang belaka. Ramalan cuaca saat ini yang didukung pengamatan satelit, jelas lebih akurat dibandingkan ramalan nasib. Saya percaya dengan Fengshui, sebatas sebuah ’model rumus’ dengan keakuratan bervariasi. Sebagian mungkin akurat 60 persen. Lainnya mungkin akurat 20 persen saja.
Bagaimana dengan keakuratan ramalan Mama Lauren? Saya percaya… bahwa itu juga hanya peluang.


Saya percaya bahwa sebagian orang diberi karunia tertentu, yah bisa kita katakan kecerdasan supranatural. Tak perlu diragukan lagi, memang faktanya jelas. Masalahnya adalah, apakah kita percaya Mama Lauren punya karunia kelebihan seperti itu? Ya, terserah Anda mau percaya atau tidak. Sulitnya hal semacam ini karena metode pembuktian ilmiah sulit dilakukan. Instrumen pengukurannya apa? Siapa yang bisa dijadikan kalibrasi/referensi?
Anggap Mama Lauren punya kemampuan supranatural itu (dan hal tersebut sah-sah saja dimiliki seseorang). Yang penting adalah, bagaimana sikap kita terhadap sebuah ramalan?
Saya pernah diramal menjadi orang sukses, sepertinya Anda juga pernah. Saya pernah diramal akan gagal pada umur sekian dan sukses pada umur sekian. Pernah diramal bisnis tertentu akan oke, dan lain sebagainya. Menurut pengamatan saya, semua ramalan itu tidak jelas keakuratannya. Saat ini saya (merasa) sukses pada sebagian hal, dan gagal pada sebagian yang lain. Jadi bagaimana kita bisa katakan ramalan tersebut akurat bila semua kondisi peramalan itu terjadi?

Penjelasan tentang ’keakuratan’ ramalan Mama Lauren dan semacamnya ini bisa dikaitkan dengan adanya Qadla’ (ketetapan Allah atas suatu kejadian) dan Qadar (terjadinya suatu kejadian) dalam ilmu Islam. Semua hal di dunia ini sudah ada ketetapannya (disebut Qadla’), sehingga sering kita diberitahu tentang lahir, rizki, mati, daripada seseorang sebenarnya sudah ditentukan. Nah, yang sering salah diartikan oleh kebanyakan orang adalah, bahwa Qadla’ seseorang itu tunggal, padahal sesungguhnya bisa BANYAK!

Sesuatu yang pasti itu belum tentu tunggal. Sebuah persamaan kuadrat atau polinomial dalam matematika bisa mempunyai jawaban benar dua, tiga, bahkan sangat banyak. Jawabannya bisa banyak tapi pasti! Artinya himpunan jawabannya itu sudah tertentu, walaupun jumlahnya banyak. Di luar himpunan jawaban tersebut adalah kemustahilan. Sebagai ilustrasi, bahwa peluang Anda menikah dengan salah satu teman Anda sekarang pastilah ada, walau mungkin kecil sekali. Tapi peluang Anda menikah dengan Cleopatra misalnya jelas suatu kemustahilan karena hidup di masa yang berbeda.

Nah, dari jutaan ketentuan qadla’ tersebut, bisa saja sebagian kecil tertangkap oleh indera keenam (supranatural) seseorang. Misalnya Mama Lauren meramal tentang suatu kejadian, maka saya berpandangan bisa saja memang dia menangkap isyarat satu dari jutaan pilihan masa depan. Berapa peluang kejadian tersebut akan terjadi? Ya, variatif, bisa sangat kecil (karena qadla’ sesungguhnya jutaan), bisa cukup besar (karena qadla’ sesungguhnya hanya beberapa puluh). Jadi bagaimana kita bisa yakin ramalan itu benar? Ya, sulit.
Yang bisa kita lakukan adalah menganggapnya sebagai input mentah. Itu ibarat seorang guru yang melihat muridnya malas belajar, lalu meramalkan bahwa si murid akan gagal ujian. Bisa saja ramalannya meleset karena si murid tiba-tiba rajin belajar, atau dapat contekan saat ujian, atau soal ujian yang keluar kebetulan saja dia bisa. Prediksi si guru (yang muncul dari akumulasi pengetahuan yang menjadi intuisi) bisa kita anggap sebagai peringatan awal. Tapi jelas sangat jauh dari mutlak.

Jadi kalau ada ramalan (atau saya diramal tanpa diminta), saya anggap itu sebagai input mentah. Mungkin berguna, mungkin tidak. Pengalaman selama ini sih, minta diramal (dulu waktu kecil terpikat oleh tawaran peramal pinggir jalan, hehe) ternyata tidak akurat, atau tepatnya tidak bisa dibuktikan keakuratannya.

Kesimpulan sekarang : semua ramalan itu hakikatnya cuma ilmu statistik saja. Ketepatannya tidak pernah mutlak. Kadang tepat, sering juga meleset. Dalam statistik itu disebut model dengan reliabilitas (keandalan) rendah. Misalnya, kalaupun sinyal-sinyal masa depan yang ditangkap Mama lauren itu benar, penafsiran atas sinyal itu secara akurat sangat sulit (data valid, penafsiran Mama Lauren lah yang bias). Hanya orang-orang tertentu seperti misalnya Nabi Yusuf dan Nabi Khaidir saja yang tingkat keakuratannya tinggi.
Efek Forer

Kenapa sih, walaupun keakuratannya rendah banyak orang masih juga senang dengan ramalan bintang (juga ramalan para peramal)? Ternyata karena ’persepsi bahwa ramalan tersebut jitu’ ternyata cukup tinggi.

Seorang dosen psikologi bernama Bertram R. Forer membuat percobaan terhadap para mahasiswanya. Mereka diberi kuesioner yang harus diisi untuk evaluasi terhadap kepribadian para mahasiswa. Beberapa lama kemudian setiap mahasiswa mendapat hasil masing-masing. Selanjutnya mereka diminta memberikan penilaian atas keakuratan tes tersebut dengan skor 0 untuk tidak tepat (poor) dan 5 untuk sangat tepat (excellent). Hasilnya adalah 4,26 yang artinya tingkat keakuratan tes tersebut sangat tinggi. Yang tidak diketahui oleh para mahasiswa tersebut adalah bahwa semua analisis yang diberikan adalah sama, dan diambil dari cuplikan ramalan bintang! Analisis tersebut berisi keterangan yang ambigu (Anda extrovert, tapi terkadang introvert, Anda terlihat disiplin di luar, padahal ceroboh di dalam, dsb). Dan karena ambiguitas analisis itu, maka setiap mahasiswa melihat kecocokan dalam dirinya!
Inilah yang disebut Efek Forer. Efek ini terjadi karena 3 hal :
subyek meyakini bahwa hasil tersebut unik buat dia
subyek percaya akan kredibilitas evaluator untuk memberikan evaluasi
kebanyakan isi analisis adalah hal yang bagus-bagus (positive traits)


Nah itulah yang terjadi ketika seseorang takjub dengan keakuratan seorang peramal. Dia sebenarnya terkena Efek Forer!

Sunday, June 3, 2007

Niat Baik Saja Tidak Cukup

Sering sekali dengan berbekal keyakinan bahwa setiap niat baik akan mendapatkan pertolongan dari Tuhan, maka seseorang mengabaikan kenyataan pentingnya strategi. Memang kita yakin Tuhan akan menolong, namun hukum alam (sunatullah) secara umum juga berlaku. Banyak bukti sejarah menunjukkan bahwa orang-orang yang baik dikalahkan dengan mudah oleh orang-orang jahat.

Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu sendiri berusaha mengubah nasibnya. Bahkan ikhtiar yang sungguh-sungguh pun belum tentu berhasil kalau tidak dengan strategi yang baik. Kisah perang Uhud di jaman rasulullah Muhammad saw menunjukkan bahwa kaum yang beriman pun akan kalah oleh kaum kafir bila salah dalam strategi perang. Waktu itu umat Islam yang berperang melawan kaum berhala jahiliyah dikalahkan karena pertahanan barisan belakang yang lemah sehingga dapat dihantam oleh pasukan kavaleri kaum kafir.

Niat baik belum cukup. Sering terjadi karena seseorang sangat baik hati untuk menolong maka dia menjadi bulan-bulanan penipuan. Niatnya menolong, eh akhirnya dirampok. Walaupun niat baik akan mendapat pahala, namun bukan berarti serta-merta akan mendapatkan hasil yang diinginkan. Niat baik harus dibarengi strategi. Kecerdasan spiritual (SQ) harus dibarengi kecerdasan power (PQ).

Yang sering terjadi pula adalah usaha bisnis bersama yang dijalankan oleh orang-orang saleh hanya berbekal niat baik. Tidak ada ketrampilan manajemen. Tidak ada strategi pemasaran. Bahkan tidak ada kemampuan pengelolaan uang. Cukup doa dan kerja keras. Akibatnya usaha yang dilandasi niat baik saja tersebut karam dengan kerugian waktu, uang, tenaga, dan pikiran. Niat baik saja belum cukup. Mengandalkan IQ, EQ, dan SQ saja belum cukup. Apalagi hanya mengandalkan niat baik (SQ), pastilah jauh dari cukup.

Itulah mengapa dalam pengembangan diri kita perlu senantiasa menyeimbangkan karakter dan kompetensi. Kesalehan spiritual (SQ) perlu diimbangi kecerdikan power (PQ). Kepasrahan seorang hamba yang selalu munajat kepada Allah perlu dibarengi kecerdikan siasat dalam peperangan, seperti yang dicontohkan Khalid bin Walid, Salman al Farisi, Shalahuddin al Ayyubi, dan Thoriq bin Ziyad, sama halnya dengan kecerdikan dagang Muhammad saw, Abu Bakar ash Shiddiq, Utsman bin Affan, dan Abdurrahman bin Auf, ratusan tahun yang lalu.
Kalau segala sesuatu bisa dirubah cuma dengan berniat, mengapa rosul harus rela dimaki, difitnah dan berperang dengan orang ?.

Orang No 1 dimata Allah SWT saja mengajarkan kita untuk bergerak dan berjuang untuk membuat perubahan, masak kita yang dosanya gak karuan Cuma modal niat untuk mencapai cita-cita.

Friday, June 1, 2007

OPSIMIS = Optimis + Pesimis

Beberapa tahun yang lalu sewaktu masih aktif di kegiatan kemahasiswaan, saya sering memplesetkan kata optimis dan pesimis menjadi opsimis. Maksud saya adalah untuk selalu optimis dalam kepesimisan.Tentu saja itu hanya kata-kata sambil main-main untuk menghibur teman-teman yang stres saat menghadapi deadline suatu kegiatan Kini, setelah membaca beberapa buku yang bagus, kata ‘opsimis’ ini ternyata mempunyai filosofi yang mendalam.

Buku pertama berjudul “Manusia Mencari Makna” (Man’s search for meaning) karya Victor E. Frankl. Tokoh psikologi pendiri aliran Logoterapi (terapi makna) yang mengalami penahanan di kamp Nazi selama PD II, dari September 1942 hingga April 1945. Dia menemukan bahwa rekan-rekannya yang terlalu optimis merasa akan bebas dalam jangka dekat ternyata justru meninggal dalam frustasi. Seorang rekannya dia ceritakan punya firasat bahwa perang akan berakhir dan mereka akan bebas pada awal musim semi. Ternyata hingga musim semi kondisi tawanan makin memburuk dan tidak ada tanda-tanda mereka bebas. Orang tersebut tiba-tiba meninggal dalam kerisauan karena tak mampu menanggung kenyataan bahwa mereka masih menderita.

Frankl sendiri mampu bertahan dengan satu keinginan membara dalam dirinya untuk kembali bertemu dengan keluarga dan kembali mengajar psikologi kepada mahasiswanya. Optimisme ini diimbangi kemampuan menerima kenyataan sehari-hari bahwa dia disiksa, ditelanjangi, dirampas kepemilikannya, dan diberi nama baru dengan hanya sebuah nomor angka. Pengalaman di kamp konsentrasi ini membawa Frankl kepada kesimpulan penting : manusia tetap merdeka untuk memilih respon terhadap kenyataan yang dia terima. Dia menyebut hal itu sebagai ‘kemerdekaan terakhir yang tidak dapat dirampas dari diri seseorang’. Konsep Frankl ini dirumuskan kembali oleh Sephen Covey, penulis 7 habits, dengan istilah ProActive yang kemudian menjadi populer dalam manajemen.

Buku kedua adalah “Good to Great” karya Jim Collins dalam salah satu bagiannya yang diberi sub-judul The Stockdale Paradox. Ini adalah cerita tentang Admiral Jim Stockdale seorang perwira penerbang AL Amerika yang ditawan di perang Vietnam selama 8 tahun dari tahun 1965 hingga 1973. Dia disiksa lebih dari 20 kali dan menjadi eksperimen untuk perang psikologis. Pengalaman Stockdale ditulis menjadi buku ‘In Love and War’. Waktu Jim Collins mewawancarai veteran perang ini dia menemukan pernyataan yang mengejutkan, bahwa menurut Stockdale tawanan yang paling cepat mati adalah mereka yang optimis!

“Si optimis? Saya tidak paham,” kata Jim. “Si optimis. Itu mereka yang mengatakan, “Kita akan bebas nanti saat Natal.” lalu Natal datang, dan pergi. Kemudian mereka berkata, “Kita akan bebas saat Easter (Paskah),” lalu Easter datang, dan pergi. Dan kemudian Thanksgiving, dan kemudian Natal lagi. Dan akhirnya mereka mati dengan patah hati.” demikian jawaban Stockdale. “Ini adalah pelajaran penting. Kamu tidak boleh bingung antara keyakinan bahwa kamu suatu saat akan menang di akhirnya - dengan disiplin untuk menerima fakta paling brutal dari relalitas yang sedang terjadi, apapun bentuknya.” Artinya : “Kita tidak akan bebas Natal kali ini. Terima saja kenyataan.”

Optimisme ternyata juga berbahaya, dia dapat membuat orang mati frustasi!
Merenungi kisah Frankl dan Stockdale ini saya jadi teringat berbagai pengalaman bisnis yang gagal. Saya orang optimis, namun kenyataannya optimisme tidak mampu secara ajaib mengubah kegagalan menjadi keberhasilan.

Sekarang saya mempunyai pemahaman baru : Opsimisme!
Kata main-main itu kini punya makna lebih mendalam. Opsimisme : kita optimis dalam jangka panjang bahwa situasi akan membaik, sekaligus kita pesimis dalam jangka pendek bahwa kondisi saat ini sesuai dengan yang kita inginkan.

Selalu yakin dalam hati bahwa sesuatu akan membaik, sekaligus mampu menerima kenyataan bahwa kondisi realitas saat ini sedang buruk. Ini memberi konsekuensi untuk terus berjuang mengubah keadaan, dan menghindarkan diri dari angan-angan kosong. Orang-orang yang mati frustasi dalam kedua cerita di atas adalah orang yang menggunakan optimisme untuk berangan-angan kosong! Ini sering terjadi pada orang yang rajin berdoa lalu berharap pertolongan dari langit akan turun sesuai yang dia inginkan. Seperti tidak punya duit, lalu berdoa serius, duduk-duduk, berharap sore hari akan turun duit dari langit. Angan-angan kosong. Terima kondisi apa adanya, tidak punya duit, pesimis duit akan datang sore ini, lalu bergeraklah untuk mengubah keadaan. Menerima kenyataan secara pesimis akan menggerakkan naluri purba kita untuk berjuang agar survive! Sebaliknya berangan-angan kosong yang serba optimis terhadap realita akan membuat kenyamanan semu yang menumpulkan kemampuan survive.

Optimis untuk keadaan jangka panjang, pesimis untuk realita saat ini.
Sekarang saya bisa lebih paham dengan apa yang dimaksud Al Ghozali, seorang pemikir muslim, dalam bukunya Rahasia Shalat. Dia menulis pentingnya beribadah secara khouf (takut) sekaligus roja (harap). Artinya ketika seseorang sedang shalat maka dia harus takut shalatnya ditolak, sekaligus berharap shalatnya diterima. Ini ibarat kita yakin bahwa kita berpeluang besar kelak akan masuk surga (optimis), sekaligus menerima kenyataan bahwa kondisi saat ini sangat belum layak untuk diterima masuk surga (pesimis). Jadi, perbaiki shalatmu terus-menerus, demikian saya kira maksud Al Ghazali. Menganggap dirimu saat ini sudah layak masuk surga adalah suatu angan-angan kosong!

Sikap dari nabi Muhammad saw adalah contoh terbaik dari opsimisme. Beliau yakin suatu ketika akan menang (optimis), namun di saat bersamaan selalu sadar kondisi buruk yang dihadapi (pesimis). Itulah mengapa saat akan hijrah beliau menyusun strategi agar bisa lolos dari kepungan para pemuda yang akan berniat membunuhnya (saat itu Ali disuruh tidur pura-pura menggantikannya). Muhammad tidak berangan-angan kosong bahwa akan ada malaikat yang membawanya menghilang dengan ajaib. Itu pula kenapa beliau selalu berusaha sungguh-sungguh dalam tiap pertempuran, yakin akan pertolongan Allah, sekaligus realistis dengan kondisi yang ada. Beliau menang saat Badar dengan menutup sumur musuh, kalah saat Uhud karena bobolnya pertahanan belakang, menang saat Khondaq dengan pertahanan jurang parit. Karena optimis beliau selalu yakin dengan perjuangannya. Karena pesimis beliau selalu berusaha menyusun strategi dan berjuang keras untuk kondisi yang dihadapi. Betul-betul sikap yang memadukan optimisme dan pesimisme layaknya Yin dan Yang. Sikap Opsimisme.

Blog ini juga harus saya pandang secara ‘opsimis’, artinya :
1. optimis : saya optimis suatu saat situs ini akan memberikan banyak manfaat kepada banyak orang (hal ini membuat saya tetap mau mengisinya)
dan sekaligus
2. pesimis : saya pesimis dalam waktu dekat ini sudah banyak yang memanfaatkannya (karena itu situs ini harus terus disempurnakan dan disosialisasikan)

Bagi anda yang tabu dengan kata Pesimis seperti yang diajarkan oleh para trainer pengembangan SDM, anda bisa menggantinya. Kita bisa menggunakan semboyan lain. Anda ganti saja Pesimis menjadi Realistis. Kita mesti realistis dengan kenyataan bahwa kemampuan kita serba terbatas. Jadi, Optimis dan Realistis = Opsimis.

Jadi mari kita serukan : tetap optimis! Eh, salah. Tetap Opsimis!™

Pilih Sukses atau Bahagia ?

Suatu kesuksesan tidak menjamin akan diikuti oleh kebahagiaan, kata banyak orang. Apalagi tidak sukses, lebih tidak menjamin bahagia, kata sebagian yang lain. Benarkah penting bagi kita untuk meraih sukses?

Mari kita sejenak merenungi arti sukses. Bila seseorang menginginkan sesuatu lalu dia mendapatkannya, maka dia disebut sukses. Bila orang tersebut sebelumnya tidak menginginkan sesuatu, lalu tiba-tiba mendapatkannya, apakah juga disebut sukses? Tidak, dia tidak disebut sukses. Jadi sukses adalah sebutan untuk pencapaian sesuatu yang diinginkan.

Kini mari kita renungi apa itu bahagia. Ada nyaman, ada senang, ada gembira, ada bahagia. Seseorang sedang tiduran di tepi pantai. Badannya terasa nyaman menikmati siliran angin sepoi-sepoi dan bunyi deburan ombak yang menghempas ke pasir. Rasa hangat dan santai mengaliri sekujur tubuhnya, hatinya pun senang dan tenteram. Apakah dia bahagia? Seseorang yang lain sedang melakukan olahraga arung jeram, berjuang keras mengatasi guncangan arus ke kanan dan ke kiri. Berjuang sungguh-sungguh di tepi intaian maut. Energi terkuras, badan terasa sangat letih. Anehnya hati merasa riang dan gembira. Apakah dia bahagia?

Kisah yang lain lagi. Ini untuk kesekian kalinya ia merasakan getaran hati yang sama. Sesuatu yang indah tak terjelaskan. Sesuatu yang begitu mengharukan hati. Di hadapannya tersenyum lebar seorang anak dengan kaki kecil dan bengkok, kaki yang tiada kuasa menopang tubuh mungil itu. Anak ini terserang polio di usia nya yang ke 3 tahun. Dan sejak itu, telah lima tahun dia terbaring hanya di ranjangnya. Hari ini, dengan pemberian kursi roda bekas yang agak reyot, anak itu mendapatkan kesempatannya kembali untuk menjelajahi dunia. Oh Tuhan, terimakasih telah Engkau beri aku kesempatan untuk memberi sedikit harapan kepada makhlukmu yang lain… bisiknya di dalam hati. Bahagiakah orang ini?
Berbeda dengan sukses, bahagia lebih sulit dinilai. Bila sukses diukur dari seberapa jauh pencapaian seseorang terhadap apa yang dia inginkan, maka bahagia muncul dengan cara yang ajaib. Dia subyektif, dia dirasakan. Dengan demikian dia sulit diukur, kecuali oleh yang mengalaminya.

Seseorang yang bahagia dapat dikatakan sukses, bila memang perasaan bahagia itulah yang ia idamkan, dan kemudian ia meraihnya. Orang lain dapat pula sukses, tapi tidak bahagia, karena memang bukan bahagia itu idamannya. Mungkin dia mengidamkan kekayaan, dan meraihnya. Mungkin mengidamkan ketenaran, dan juga meraihnya. Karena itulah terdapat ungkapan, sukses meraih kebahagiaan. Jadi, sukses adalah status pencapaian, sedangkan bahagia adalah salah satu obyek yang bisa dijadikan tujuan.
Kalau bahagia adalah obyek, maka pertanyaannya adalah: seperti apakah rasa bahagia itu? Ada banyak usulan tentang hal ini, mulai dari yang berciri fisik seperti munculnya zat tertentu di otak, hingga yang sangat filosofis seperti munculnya rasa dicintai Tuhan. Mari kita ambil contoh salah satu definisi, yaitu ciri-ciri yang diusulkan oleh Rick Foster dalam buku How we Choose to be Happy.


Bahagia sejati adalah suatu perasaan yang kuat dan langgeng berupa rasa tenang, puas, mampu, dan kendali penuh atas diri sendiri. Bahagia juga berarti mengetahui kondisi dan keinginan diri, lebih merespon kebutuhan yang nyata daripada tuntutan orang lain, sadar merasakan hidup saat ini, dan mampu menikmati buah kehidupan.
Kriteria pilihan Rick Foster tersebut ternyata merupakan ciri-ciri emosi dan mental. Merujuk kriteria tadi cukup jelas bahwa kita dapat meraih kebahagiaan melalui sukses dengan cara selalu menetapkan tujuan yang dapat menimbulkan bahagia tersebut. Dengan demikian saat tujuan tercapai, maka tercapai pula bahagia. Selain itu, karena bahagia bersifat subyektif, maka kita bahkan dapat menciptakan rasa bahagia sepanjang perjalanan menuju sukses.

Dapatkah kita bahagia tanpa sukses? Tentu dapat, terutama bila itu hanya ditujukan unt
uk diri sendiri. Seseorang yang miskin, namun mampu mensyukuri keadaannya, tentu dia dapat merasakan kebahagiaan. Masalah muncul bila kita bicara tentang kebahagiaan yang diraih dengan berkontribusi ke sesuatu di luar kita, maka tidak sukses boleh jadi akan menghambat tercapainya sebagian kebahagiaan. Andaikan seseorang yang bahagia tapi miskin tersebut adalah seorang ayah dari 3 orang anak. Suatu ketika anaknya sakit dan dia tidak mampu membiayai untuk berobat, maka boleh jadi saat itu sangat sulit untuk berbahagia. Demikian juga saat tidak punya makanan, tidak mampu menyekolahkan, tidak mampu meluangkan waktu bersama, dan sebagainya. Karena itu sebuah kesuksesan merupakan hal penting. Semakin kita sukses, semakin besar peluang untuk berbahagia dengan memberikan kontribusi ke sesuatu di luar diri kita.


Karena sukses dan bahagia dua hal terpisah, dapatkan bahagia mengantarkan kita ke sukses? Anda sudah tahu jawabannya, tentu saja dapat. Bila bahagia adalah tujuan yang kita pilih, maka mampu merasa bahagia saja sudah disebut sukses. Banyak orang mengalami, keputusan untuk menjadi bahagia akhirnya mengantar mereka untuk mencapai sukses yang lebih tinggi dan lebih banyak.

Jadi, anda ingin sukses atau bahagia?. Saya yakin anda menginginkan kedua-duanya.