Para ahli arkeologi sedang bekerja di Pulau Easter yang misterius di Samudera Pasifik. Mereka bingung karena yang sebelumnya tampak sebagai tanah pertanian purba ternyata bertaburan bebatuan. Keberadaan batu-batu tersebut seperti memungkiri penjelasan bahwa area tersebut pernah menjadi sebuah perkebunan yang memberi makan ribuan orang. Jared Diamond dalam bukunya yang berjudul Collapse memberikan jawaban atas teka-teki itu.
Orang masa kini mengetahui bahwa tanah yang baik adalah tanah yang bebas dari batu dan kerikil. Dengan kondisi itu tanah menjadi mudah dibajak dan diolah. Namun mengapa perkebunan -perkebunan kuno di Pulau Easter dipenuhi dengan bebatuan yang mudah dipindahkan?
Penelitian yang dilakukan para ilmuwan di dunia telah memperlihatkan betapa perkebunan-perkebunan yang berhasil di Peru, Cina, Selandia Baru,dan Israel, ternyata diolah dengan cara yang sama yaitu ditanami bebatuan. Menanam bebatuan di area yang jarang mendapatkan hujan ternyata dapat mengubah gurun pasir atau tanah kering menjadi perkebunan yang produktif. Bebatuan itu mengumpulkan embun dan menciptakan kantung-kantung kelembaban di bawahnya. Bebatuan itu juga mencegah debu humus terkikis dengan cepat, dan bahkan bebatuan tersebut juga menambahkan sedikit kesuburan bagi tanah.
Penelitian terhadap teknik pertanian yang pernah digunakan oleh bangsa Indian Anasazi membuktikan bahwa menanam bebatuan telah meningkatkan produktifitas enam belas jenis tanaman mereka hingga 400 persen! Bebatuan sama sekali bukan halangan, bahkan ia bisa menjadi penyebab utama keberhasilan panen beberapa jenis tanaman.
Artikel menarik di atas merupakan salah satu tulisan dalam buku The Big Moo yang merupakan kumpulan artikel dari 33 penulis. Saya kutip karena cerita tersebut sangat unik. Kita menjadi tahu bahwa bebatuan yang di tempat lain berusaha keras untuk dihilangkan, ternyata terbukti sangat bermanfaat di kondisi yang miskin hujan. Mungkin saja di lahan pertanian lain yang banyak hujan sebenarnya bebatuan itu juga berguna, sayangnya ilmu kita ini masih sangat kerdil untuk mengetahui manfaatnya.Nah, karena saat ini pertanian yang banyak hujan tersebut berhasil, maka dianggap bahwa cara bertani di tanah yang bebas batu itu memang benar. Padahal, siapa tahu sebenarnya tidak demikian.
Artikel tentang menanam bebatuan itu ditutup dengan pertanyaan menarik yang saya kutipkan sebagai berikut.
Sepanjang hari, perusahaan-perusahaan sibuk berusaha menjadi lebih efisien, dengan membuang setiap penghalang dan orang-orang yang tidak mampu memberikan sumbangannya. Tampaknya tujuannya adalah membentuk sebuah padang yang bersih, mudah dibajak dan diolah secara optimal. Mungkin, mungkin saja, itu bukan gagasan yang baik.
Dimana bebatuan yang telah Anda singkirkan itu? Apa yang akan terjadi jika Anda mengembalikannya beberapa saja ke tempatnya semula?
Friday, May 25, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment