Sebagai seorang bocah, Sakichi Toyoda belajar ilmu pertukangan kayu dari ayahnya. Toyoda kecil adalah seorang anak yang cerdas dan kreatif. Saat itu industri tenun adalah industri yang paling berkembang di tanah kelahirannya, wilayah pertanian di pinggiran Nagoya, Jepang. Toyoda muda dengan ilmu pertukangan kayu yang diwarisi dari ayahnya, pada tahun 1894 membuat sebuah mesin tenun yang lebih murah namun bekerja lebih baik daripada mesin yang sudah ada.
Toyoda sangat puas dengan mesin tenunnya. Namun dia melihat neneknya, ibunya, juga wanita-wanita lain masih harus bekerja keras untuk memintal dan menenun. Toyoda ingin membuat mereka terbebas dari kerja keras itu. Maka dia kemudian menciptakan mesin tenun yang ditenagai mesin. Saat itu adalah jaman dimana seorang pencipta harus mengerjakan semuanya sendiri. Karena kurangnya sumber tenaga untuk penggerak mesin, maka Toyoda belajar lebih dahulu tentang mesin uap, membeli mesin uap bekas, dan mencoba berkali-kali secara trial error hingga berhasil. Toyoda kemudian mendirikan Toyoda Automatic Loom Works pada tahun 1926, yang kemudian menjadi cikal bakal konglomerasi Toyoda.
Toyoda sangat terinspirasi oleh buku Self Help karya penulis Inggris Samuel Smiles yang terbit 1859. Buku itu menjelaskan bahwa revolusi industri tumbuh karena kerja keras, disiplin, dan penyempurnaan diri. Buku itu dilengkapi dengan kisah James Watt dan mesin uapnya. Buku itu juga menjelaskan bahwa seorang pemimpin harus mengetahui sendiri fakta-fakta di lapangan, yang kemudian diadopsi Toyoda menjadi filosofi Genchi Genbutsu (lihat sendiri untuk memahami situasi - go and see for yourself to thoroughly understand the situation). Karena sangat terinspirasi oleh buku itu, maka Sakichi Toyoda menyimpan buku itu dalam koleksinya yang hingga kini masih dapat dilihat di museumnya.
Sakichi punya anak lelaki bernama Kiichiro Toyoda, seorang anak yang kerempeng dan sakit-sakitan. Banyak orang menganggap bahwa Kiichiro Toyoda tidak punya fisik yang mendukung untuk menjadi pemimpin yang baik. Tapi sang ayah tidak setuju dengan pandangan itu. Ia memberi tugas anaknya untuk belajar membuat mobil. Awal tujuannya bukan untuk mengembangkan bisnis. Tujuannya adalah memberi kesempatan anaknya itu untuk melakukan sesuatu yang besar dalam hidupnya! Dia ingin anaknya mempunyai kesempatan membuat kontribusi kepada umat manusia, sama halnya dengan kesempatan istimewa yang dia alami dalam memberi kontribusi melalui mesin tenun. Toyoda berkata kepada anaknya:
Setiap orang perlu mengambil proyek besar paling tidak sekali dalam hidupnya. Saya mendedikasikan hampir seluruh hidup saya untuk menciptakan jenis mesin tenun yang baru. Sekarang saatnya giliranmu. Kamu harus berusaha sungguh-sungguh untuk menyelesaikan sesuatu yang akan memberi manfaat bagi masyarakat.
Kiichiro kemudian dikirim untuk sekolah di Tokyo Imperial University, mengambil jurusan teknik mesin dengan fokus pada teknologi mesin. Mengikuti jejak ayahnya, Kiichiro juga selalu melakukan belajar melalui praktek (learning by doing). Dalam membuat mesin bagian tersulit adalah mengecor blok mesin. Kiichiro melakukannya sendiri dengan membuat mesin kecil, terus menerus hingga berhasil. Usaha Kiichiro akhirnya menjadi Toyota Automotive Company, salah satu perusahaan mobil terbaik di dunia.
Setiap orang perlu mengambil minimal satu proyek besar dalam hidupnya, demikian pesan Sakichi Toyoda, bapak pendiri dari perusahaan Toyota. Pesan ini sangat inspiratif, saya sangat setuju. Kadang-kadang hal ini saya sampaikan secara bergurau kepada mahasiswa saya, “Kalau hidup ini hanya dijalani dengan biasa-biasa saja, maka kita ini ibarat cuma dimanfaatkan oleh DNA buat numpang lewat. Maksudnya, kita hidup, berkeluarga, punya anak, lalu mati. Berarti hidup kita kan cuma buat meneruskan DNA kita kepada generasi berikutnya? Karena itu kita perlu punya mimpi yang besar dan membuat kontribusi yang positif dalam hidup ini.”
Demikian pula setiap kita perlu mengambil minimal satu proyek besar dalam hidup kita untuk diselesaikan. Proyek itu ditujukan untuk membuat kontribusi bagi masyarakat. Entah itu menemukan sesuatu, menciptakan produk, atau membuat sistem dan organisasi. Apa saja yang menjadi bakat terbaik Anda, bisa Anda wujudkan menjadi sumbangan yang bermanfaat bagi umat manusia.
Setiap saya merasa lemah dan merasa ingin berhenti melangkah, saya membalik-balik halaman cerita-cerita inspiratif. Cerita dibalik toyota membangkitkan gelora api semangat. Saya pun ingin memberi sesuatu pada Indonesia tercinta. Karena masih mahasiswa, saya ingin memberikan sesuatu kepada yang terdekat yaitu kampus. Kesempatan itu berupa amanah untuk menyusun buku dan kisi praktikum serta menjadi asisten yang tidak saya lewatkan. Anda tentu juga sudah punya ‘ a lifetime project‘, bukan?
Kisah ini diambil dari buku The Toyota Way karya Jeffrey K. Liker.
Tuesday, May 29, 2007
Friday, May 25, 2007
Menanam Batu
Para ahli arkeologi sedang bekerja di Pulau Easter yang misterius di Samudera Pasifik. Mereka bingung karena yang sebelumnya tampak sebagai tanah pertanian purba ternyata bertaburan bebatuan. Keberadaan batu-batu tersebut seperti memungkiri penjelasan bahwa area tersebut pernah menjadi sebuah perkebunan yang memberi makan ribuan orang. Jared Diamond dalam bukunya yang berjudul Collapse memberikan jawaban atas teka-teki itu.
Orang masa kini mengetahui bahwa tanah yang baik adalah tanah yang bebas dari batu dan kerikil. Dengan kondisi itu tanah menjadi mudah dibajak dan diolah. Namun mengapa perkebunan -perkebunan kuno di Pulau Easter dipenuhi dengan bebatuan yang mudah dipindahkan?
Penelitian yang dilakukan para ilmuwan di dunia telah memperlihatkan betapa perkebunan-perkebunan yang berhasil di Peru, Cina, Selandia Baru,dan Israel, ternyata diolah dengan cara yang sama yaitu ditanami bebatuan. Menanam bebatuan di area yang jarang mendapatkan hujan ternyata dapat mengubah gurun pasir atau tanah kering menjadi perkebunan yang produktif. Bebatuan itu mengumpulkan embun dan menciptakan kantung-kantung kelembaban di bawahnya. Bebatuan itu juga mencegah debu humus terkikis dengan cepat, dan bahkan bebatuan tersebut juga menambahkan sedikit kesuburan bagi tanah.
Penelitian terhadap teknik pertanian yang pernah digunakan oleh bangsa Indian Anasazi membuktikan bahwa menanam bebatuan telah meningkatkan produktifitas enam belas jenis tanaman mereka hingga 400 persen! Bebatuan sama sekali bukan halangan, bahkan ia bisa menjadi penyebab utama keberhasilan panen beberapa jenis tanaman.
Artikel menarik di atas merupakan salah satu tulisan dalam buku The Big Moo yang merupakan kumpulan artikel dari 33 penulis. Saya kutip karena cerita tersebut sangat unik. Kita menjadi tahu bahwa bebatuan yang di tempat lain berusaha keras untuk dihilangkan, ternyata terbukti sangat bermanfaat di kondisi yang miskin hujan. Mungkin saja di lahan pertanian lain yang banyak hujan sebenarnya bebatuan itu juga berguna, sayangnya ilmu kita ini masih sangat kerdil untuk mengetahui manfaatnya.Nah, karena saat ini pertanian yang banyak hujan tersebut berhasil, maka dianggap bahwa cara bertani di tanah yang bebas batu itu memang benar. Padahal, siapa tahu sebenarnya tidak demikian.
Artikel tentang menanam bebatuan itu ditutup dengan pertanyaan menarik yang saya kutipkan sebagai berikut.
Sepanjang hari, perusahaan-perusahaan sibuk berusaha menjadi lebih efisien, dengan membuang setiap penghalang dan orang-orang yang tidak mampu memberikan sumbangannya. Tampaknya tujuannya adalah membentuk sebuah padang yang bersih, mudah dibajak dan diolah secara optimal. Mungkin, mungkin saja, itu bukan gagasan yang baik.
Dimana bebatuan yang telah Anda singkirkan itu? Apa yang akan terjadi jika Anda mengembalikannya beberapa saja ke tempatnya semula?
Orang masa kini mengetahui bahwa tanah yang baik adalah tanah yang bebas dari batu dan kerikil. Dengan kondisi itu tanah menjadi mudah dibajak dan diolah. Namun mengapa perkebunan -perkebunan kuno di Pulau Easter dipenuhi dengan bebatuan yang mudah dipindahkan?
Penelitian yang dilakukan para ilmuwan di dunia telah memperlihatkan betapa perkebunan-perkebunan yang berhasil di Peru, Cina, Selandia Baru,dan Israel, ternyata diolah dengan cara yang sama yaitu ditanami bebatuan. Menanam bebatuan di area yang jarang mendapatkan hujan ternyata dapat mengubah gurun pasir atau tanah kering menjadi perkebunan yang produktif. Bebatuan itu mengumpulkan embun dan menciptakan kantung-kantung kelembaban di bawahnya. Bebatuan itu juga mencegah debu humus terkikis dengan cepat, dan bahkan bebatuan tersebut juga menambahkan sedikit kesuburan bagi tanah.
Penelitian terhadap teknik pertanian yang pernah digunakan oleh bangsa Indian Anasazi membuktikan bahwa menanam bebatuan telah meningkatkan produktifitas enam belas jenis tanaman mereka hingga 400 persen! Bebatuan sama sekali bukan halangan, bahkan ia bisa menjadi penyebab utama keberhasilan panen beberapa jenis tanaman.
Artikel menarik di atas merupakan salah satu tulisan dalam buku The Big Moo yang merupakan kumpulan artikel dari 33 penulis. Saya kutip karena cerita tersebut sangat unik. Kita menjadi tahu bahwa bebatuan yang di tempat lain berusaha keras untuk dihilangkan, ternyata terbukti sangat bermanfaat di kondisi yang miskin hujan. Mungkin saja di lahan pertanian lain yang banyak hujan sebenarnya bebatuan itu juga berguna, sayangnya ilmu kita ini masih sangat kerdil untuk mengetahui manfaatnya.Nah, karena saat ini pertanian yang banyak hujan tersebut berhasil, maka dianggap bahwa cara bertani di tanah yang bebas batu itu memang benar. Padahal, siapa tahu sebenarnya tidak demikian.
Artikel tentang menanam bebatuan itu ditutup dengan pertanyaan menarik yang saya kutipkan sebagai berikut.
Sepanjang hari, perusahaan-perusahaan sibuk berusaha menjadi lebih efisien, dengan membuang setiap penghalang dan orang-orang yang tidak mampu memberikan sumbangannya. Tampaknya tujuannya adalah membentuk sebuah padang yang bersih, mudah dibajak dan diolah secara optimal. Mungkin, mungkin saja, itu bukan gagasan yang baik.
Dimana bebatuan yang telah Anda singkirkan itu? Apa yang akan terjadi jika Anda mengembalikannya beberapa saja ke tempatnya semula?
Subscribe to:
Posts (Atom)